POLA ASUH ORANGTUA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
PADA ANAK USIA DINI
Dinie Ratri Desiningrum
Amalia Fauziah
Fakultas Psikologi Universitas
Diponegoro Semarang
ABSTRACT
Character education is a long-term
process that should begin early and be done gradually and continuously. The
main period of development, one of whom is an early age (2-6 years), namely
pre-school age or pre-group, then the formation of character should begin at an
early age. The character’s forming is not solely the responsibility of the
school, because education and childcare, first and foremost is derived from the
family. Parent-child interaction related to parenting adopted parents, and one
form of parenting is disciplining a child. Islam teaches Muslims to be
responsible in educating children Islamically, then Islam has a method of
raising and understanding of children.
This scientific work was used
descriptive theoretical analysis method, by linking parenting Hoffman and
character formation in early childhood, through the Islamic Parenting. The
results of the analysis agreed outcomes of previous studies about three
parenting of Hoffman Theory, there is induction parenting is the most
appropriate in disciplining children because they do not violate the rights of
children. This analysis also found that the induction of parenting would be
more effective in shaping the character of the child, if notice of two Islamic
principles in understanding the child. This theoretical analysis eventually
discovered the importance of attention to some principles in applying for
parenting children for character formation.
Keywords: Parenting, Character Formation, Early Childhood
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sejak 2400 tahun yang lalu Socrates telah
berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat
seseorang menjadi “good and smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi
orang bijak, yaitu dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal
shaleh), dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga,
bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Karenanya, sebuah sistem pendidikan
dikatakan berhasil ketika dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang
sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah Negara kebangsaan yang terhormat.
Ternyata masih banyak masalah yang perlu
mendapatkan perhatian secara khusus yaitu masalah anak Indonesia yang sehat,
cerdas, handal, dan berkualitas prima untuk dapat melanjutkan pembangunan
bangsanya menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Di Indonesia, sebagai
Negara berkembang yang masuk dalam persaingan global, dibutuhkan tenaga-tenaga
kerja yang tidak hanya kompeten di bidangnya, melainkan dibutuhkan tenaga kerja
yang unggul dalam softskill-nya. Untuk
menciptakan manusia yang cinta damai, jujur, bertanggung jawab menjaga
lingkungan dan kualitas akhlak lainnya, adalah dengan menciptakan
manusia-manusia Indonesia yang batinnya hidup, yaitu mampu memilih mana yang
baik dan benar, mampu mengontrol dorongan-dorongan nafsu ketamakan, berpikir
kritis, kreatif, beretos kerja tinggi, dan selalu berinisiatif untuk melakukan
kebaikan, dan berusaha untuk semakin lebih baik setiap harinya. Hal ini
bukanlah sesuatu hal yang mudah namun muthlak diperlukan, karena fondasi
penting bagi membangun bangsa salah satunya adalah mempersiapkan anak-anak
Indonesia menjadi manusia-manusia yang berkarakter mulia (Ratna Megawangi, dkk,
dalam Desiningrum, 2011).[1]
Megawangi (2004) mengatakan bahwa kata
karakter berasal dari kata Yunani, charassein yang berarti mengukir
sehingga terbentuk sebuah pola. Sementara itu Wynne mengatakan bahwa terdapat
dua pengertian tentang karakter. Pertama adalah menunjukkan bagaimana
seseorang bertingkah laku. Sebagai contoh apabila seseorang berperilaku tidak
jujur, kejam atau rakus, maka orang tersebut memanifestasikan karakter jelek.
Sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong maka orang
tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat
kaitannya dengan ”personality”. Seseorang bisa dikatakan sebagai orang
yang memiliki karakter baik atau buruk sesuai dengan kepribadian yang
ditampilkannya (Desiningrum, 2011)
Ada yang sangat mendasar dalam kehidupan
karakter, yaitu bahwa manusia perlu menunjukkan jati diri secara otonom, dalam
kaitan dengan orang lain dalam satu perspektif bangsa, yang semakin lama
semakin besar bukan hanya kebesaran orang perorang akan tetapi bangsa itu
secara keseluruhan. Kita yang hidup pada jaman ini bukan lagi harus melihat ke
belakang akan tetapi melihat kenyataan saat ini dan ke depan, kekuatan bukan
hanya terdapat dalam idealisme akan tetapi merupakan perpaduan antara harapan
dengan kenyataan. Lebih jauhnya kegamangan dalam karakter, merupakan makanan
empuk bukan hanya dari pemakan besar bak harimau akan tetapi kuman sekalipun
akan siap menyantapnya bahkan yang tidak nyatapun seperti halnya faktor emosi
dan rongrongan psikologis akan mampu meluluhlantahkan sendi-sendi yang sudah
dimiliki saat ini (Olim, 2010).
Pendidikan karakter bukanlah pendidikan
instan yang langsung jadi, namun membutuhkan tahapan-tahapan stimulasi yang
perlu dilalui dan proses internalisasi yang akan menguatkan terbentuknya
perilaku tertentu. Pendidikan karakter merupakan proses jangka panjang yang
harus dimulai sejak usia dini dan dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan. Menurut Soetjiningsih dalam buku tumbuh kembang anak (1998) “The Child is the father of the man“
sehingga keahlian atau penyimpangan sekecil apa pun jika terdeteksi dan
ditangani dengan baik akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di
kemudian hari. Anak yang mendapat stimulasi terarah dan teratur akan lebih
cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat
stimulasi. Periode perkembangan utama, salah satu diantaranya adalah usia dini
(2 – 6 tahun) yaitu usia pra sekolah atau prakelompok. Anak itu berusaha
mengendalikan lingkungan dan mulai belajar menyesuaikan diri secara sosial.
Anak usia dini adalah kelompok anak yang
berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan unik, yang mencakup koordinasi
motorik halus dan kasar, daya pikir, daya cipta, sosioemosional, bahasa dan
komunikasi dengan perkembangan yang harus seimbang sebagai dasar pembentukan
pribadi yang utuh, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Aulia,
2009).
Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan
hasil interaksi antara faktor genetik, herediter, konstitusi dengan faktor
lingkungan baik lingkungan prenatal maupun postnatal. Faktor lingkungan ini
akan memberikan segala macam kebutuhan yang merupakan kebutuhan dasar yang
diperlukan oleh anak untuk tumbuh kembang (Tanuwijaya, 2003). Faktor-faktor
yang mempengaruhi tumbuh kembang, salah satunya faktor lingkungan (faktor
postnatal) yang mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir. Faktor lingkungan
termasuk diantaranya yaitu kualitas interaksi anak dan orang tua. Dalam
pembentukan karakter anak, pendidikan yang utama dan pertama adalah di rumah,
maka pengasuhan dan pendidikan dari orangtua, menjadi sesuatu hal yang sangat
penting dan urgent.
Mendidik
anak bermakna menyiapkan anak untuk sebuah masa yang lebih maju seoptimal
mungkin. Abraham Maslow (Koswara, 2001:25) menyatakan bahwa perilaku anak
sebenarnya terbentuk dan berkembang melalui proses komunikasi yang terdapat di
dalam interaksi orangtua-anak. Interaksi orangtua-anak berkaitan dengan pola
asuh yang diterapkan orangtua. Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam
berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua
memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan
otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap
anaknya. Salah satu bentuk pola asuh adalah mendisiplinkan anak. Orangtua
menginginkan anaknya berperilaku sesuai harapannya dengan tujuan membentuk
perilaku anak yang positif. Di dalam memenuhi harapannya tersebut, orangtua
seringkali menggunakan suatu teknik pendisiplinan terhadap anak dalam kehidupan
sehari-hari. Tujuan umum orangtua dalam mendisiplinkan anak adalah mendidik
agar anak berperilaku baik di rumah dan di luar rumah.
Anak‑anak
berubah ketika mereka tumbuh dari bayi ke masa kanak‑kanak, pertengahan dan
akhir masa kanak‑kanak, serta memasuki masa dewasa. Orangtua yang baik
menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anak tersebut (Bornstein,
2002). Di dalam Islam juga terdapat tuntunan dalam memahami anak, yaitu dengan
memperhatikan tahap usia anak dan keunikan masing-masing anak, termasuk dalam
mendisiplinkan anak.
Hoffman
(dalam Santrock, 2007) mengenalkan teknik disiplin orangtua. Orangtua dapat
mendisiplinkan anak melalui penarikan kasih sayang, penegasan kekuasaan, atau
induksi. Ditegaskan bahwa dengan penerapan disiplin pada anak sejak dini, akan
menumbuhkan pribadi anak yang mandiri, belajar berperilaku dengan cara yang
diterima masyarakat, dan sebagai hasilnya anak dapat diterima oleh anggota
kelompok sosial mereka (Nuraeni, Skripsi, 2006).
Penerapan
disiplin sejak anak usia dini akan sangat berguna dalam mengembangkan kontrol
dirinya. Disiplin dimaksudkan untuk mengajarkan kepada anak tentang perilaku
moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan utamanya
adalah memberitahu dan menanamkan pengertian dalam diri anak tentang perilaku
mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk mendorongnya memiliki perilaku
yang sesuai dengan standar masyarakat dan agama. Standar moral yang banyak
didiskusikan dan diteliti oleh para ilmuwan Indonesia dewasa ini lebih dikenal
dengan karakter, seperti yang sudah diungkapkan di atas. Penerapan disiplin
melalui pola asuh orangtua untuk membentuk karakter anak usia dini merupakan
permasalahan yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini.
Tujuan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini,
adalah melakukan telaah teoritik deskriptif untuk melihat pembentukan karakter
pada anak usia dini ditinjau dari pola asuh orangtua.
TINJAUAN PUSTAKA
Strategi dan
Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
Model yang dikenalkan Ratna Megawangi, Ph.D,
disebut “Pendidikan Holistik Berbasis Karakter” (Character-based Holistic Education). Manusia berkarakter adalah
manusia yang berkembang seluruh dimensinya secara utuh (holistik), sehingga
manusia tersebut bisa disebut holy
(suci dan bijak). Akar kata holy,
adalah whole (menyeluruh), sehingga
arti holyman adalah manusia yang
berkembang secara utuh dan seimbang seluruh dimensinya. Tujuan Model Pendidikan
Holistik Berbasis Karakter adalah “Membangun manusia holistik/utuh (whole person) yang cakap dalam
menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai
kesadaran emosional dan spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan
(the person within a whole)” (Ratna
Megawangi dalam Desiningrum, 2011)
Nilai-Nilai Karakter yang Ditanamkan Secara
Eksplisit
Ada banyak kualitas karakter yang harus
dikembangkan, namun untuk memudahkan pelaksanaan, IHF mengembangkan konsep
pendidikan 9 pilar karakter yang merupakan nilai-nilai luhur universal (lintas
agama, budaya dan suku). Diharapkan melalui internalisasi 9 pilar karakter ini,
para siswa akan menjadi manusia yang cinta damai, tanggung jawab, jujur, dan
serangkaian akhlak mulia lainnya. Ada pun nilai-nilai 9 pilar karakter terdiri
dari (Ratna Megawangi dalam Desiningrum, 2011):
1.
Cinta
Tuhan dan alam semesta beserta isinya
2.
Tanggung
jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian
3.
Kejujuran
4.
Hormat
dan Santun
5.
Kasih
Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama
6.
Percaya
Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah
7.
Keadilan
dan Kepemimpinan
8.
Baik
dan Rendah Hati
9.
Toleransi,
Cinta Damai, dan Persatuan
Metode penanaman 9 pilar karakter tersebut
dilakukan secara eksplisit dan sistematis, yaitu dengan knowing the good, reasoning the good, feeling the good, dan acting the good ternyata telah berhasil
membangun karakter anak. Dengan knowing
the good anak terbiasa berpikir hanya yang baik-baik saja. Reasoning the good juga perlu dilakukan
supaya anak tahu mengapa dia harus berbuat baik. Misalnya kenapa anak harus
jujur, apa akibatnya kalau anak jujur. Jadi, anak tidak hanya menghafal
kebaikan tetapi juga tahu alasannya. Dengan feeling
the good, kita membangun perasaan anak akan kebaikan. Anak-anak diharapkan
mencintai kebaikan. Lalu, dalam acting
the good, anak mempraktikkan kebaikan. Jika anak terbiasa melakukan knowing, reasoning, feeling, dan acting the good , semakin lama akan
terbentuk karakter anak yang baik (Ratna Megawangi dalam Desiningrum, 2011).[2]
POLA ASUH ORANGTUA
Pengertian
Pola Asuh Orang tua
Pengasuhan menurut
Porwadarminta (dalam Amal, 2005) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing,
memimpin atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud disini adalah mengasuh anak.
Menurut Darajat (dalam Amal, 2005) mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan
memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya dan keberhasilannya
dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian di atas dapatlah
dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan
yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya. Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh adalah merupakan
suatu bentuk (struktur), system dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing
anak kecil. Sedangkan pola asuh menurut Soetjiningsih (2004) adalah suatu model
atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua
dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada
umumnya.
Dalam
laporan Temu Ilmiah Sistem Kesejahteraan Anak Nasional, 1998 (dalam Garliah,
2003) pola asuh orang tua dirumuskan sebagai seperangkat sikap dan perilaku
yang tertata, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya.
Kohn (dalam Tarmudji, 2004) mengatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang
tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara
orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua
menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta
tanggapan terhadap anaknya. Ukuran keluarga mempunyai pengaruh terhadap pola
asuh keluarga dan hasil-hasil yang dicapai oleh anak. Keluarga besar dan
keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman
perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak
perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Penelitian telah menghubungkan
perbedaan ini dengan perkembangan intelektual dan penampilan prestasi di
sekolah (Feiring and Lewis, 1999).
Tipe Pola Asuh Orang
tua
Tipe pola asuh
menurut Hoffman (dalam Garliah, 2003) terdiri dari tiga tipe yaitu :
a. Induction (pola asuh bina kasih)
Adalah suatu teknik
disiplin dimana orang tua memberi penjelasan atau alas an mengapa anak harus
mengubah perilakunya. Pada tipe pola asuh seperti ini dijumpai perilaku orang
tua yang directive dan supportive tinggi.
b. Power assertion (pola asuh penegasan
kekuasaan)
Adalah perilaku
orang tua tertentu yang menghasilkan tekanan-tekanan eksternal pada anak agar
mereka berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Pada tipe pola asuh ini
dijumpai perilaku orang tua yang directive nya tinggi dan supportive rendah.
c. Love
withdrawal (pola asuh penarikan kekuasaan)
Adalah
pernyataan-pernyataan non fisik dari rasa dan sikap tidak setuju orang tua
terhadap perilaku anak dengan implikasi tidak diberikannya lagi kasih sayang
sampai anak merubah perilakunya. Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku
orang tua yang directive dan supportive rendah.
Berdasarkan
penelitian yang mendalam yang dilakukan oleh Hoffman (1989), Like (1993) dan
Sarijannati (1999) [dalam Tarmudji, 2004], menunjukkan bahwa pola asuh bina
kasih adalah yang paling efektif untuk membimbing perkembangan hubungan sosial anak.
Dalam
disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang
berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran
peraturan itu, dan hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik. Untuk anak
yang masih dalam usia pra sekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan
dan pengertian dalam disiplin. Seorang anak yang masih usia pra sekolah
ini, diberi hukuman hanya kalau memang terbukti bahwa ia sebenarnya mengerti
apa yang diharapkan dan terlebih bila ia memang sengaja melanggarnya.
Sebaliknya bila saat ia berperilaku sosial yang baik, ia diberikan hadiah, biasanya
ini akan meningkatkan keinginannya untuk lebih banyak belajar
berperilaku yang baik.
Weiten, dkk. (1994) dalam Syamsu
Yusuf (2003:52) mengemukakan 5 prinsip “effective parenting” (pola asuh
orang tua yang efektif), yaitu sebagai berikut:
1)
Menyusun atau membuat standar
(aturan perilaku) yang tinggi, namun dapat dipahami. Dalam hal ini anak
diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya.
2)
Menaruh perhatian terhadap perilaku
anak yang baik dan memberikan ganjaran. Perlakuan ini perlu dilakukan
sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya, yaitu bahwa mereka
suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku menyimpang, namun
membiarkannya ketika melakukan yang baik.
3)
Menjelaskan alasannya (tujuannya),
ketika meminta anak untuk melakukan sesuatu.
4)
Mendorong anak untuk menelaah dampak
perilakunya terhadap orang lain.
5)
Menegakkan aturan secara konsisten.
Memahami Anak dalam
Islam
Ada dua hal yang
perlu diamati pada anak (Iin T.R., 2009) :
(1) Amati sifat-sifat
khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap
manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan tersebut.
Allah SWT menciptakan manusia unik, bahkan saudara kandung, dalam setiap DNA
dan sidik jari, serta sifat-sifatnya.
(2) Pahami di tahap apa saat ini si
anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau
prosesnya. Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan
dengan tahapan-tahapan. Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini
kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan
pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima.
Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita.
Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat
dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia (Desiningrum, 2011):
1.
Tahap
BERMAIN
(“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
2.
Tahap
PENANAMAN DISIPLIN
(“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
3.
Tahap
KEMITRAAN
(“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke
atas.
Ketiga tahapan pendidikan ini
mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan
kepribadian anak yang sehat.
PEMBAHASAN
Dilakukan telaah
teoretik-deskriptif dengan mengaitkan pola asuh Hoffman dengan sembilan pilar
karakter Ratna Megawangi, dengan mempertimbangkan Islamic Parenting dalam
memahami anak.
Alur Pemikiran :
Islamic Parenting :
1. Menyadari
keunikan
2. Sesuai
tahap usia 0-7 thn
|
PEMBENTUKAN KARAKTER
1.
Cinta Tuhan dan Alam
2.
Tanggungjawab, Disiplin, Mandiri
3.
Jujur
4.
Hormat dan Santun
5.
Kasih sayang, kepedulian, Kerjasama
6.
Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, Pantang Menyerah
7.
Keadilan dan Kepemimpinan
8.
Baik dan Rendah Hati
9.
Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan
|
Pola Asuh Hoffman :
1. Love
Withdrawal
2. Power
Assertion
3. Induction
|
Keluarga
adalah insititusi yang paling penting dalam kehidupan seseorang, karena dari
keluarga seseorang melangkah keluar dan kepada keluarga pula seseorang akan
kembali. Di dalam keluarga seseorang hidup bersama dengan sekelompok orang
secara akrab. Keluarga merupakan community
primer yang paling penting, yang mencerminkan keakraban yang relatif kekal
(Roucek dan Warren,1997:126). Keluarga sebagai sebuah lembaga atau masyarakat
pendidikan yang pertama, senantiasa berusaha menyediakan
kebutuhan biologik bagi anak dan serta merta merawat dan mendidiknya. Keluarga
mengharapkan agar tindakannya itu dapat mendorong perkembangan anak untuk
tumbuh menjadi pribadi yang dapat hidup dalam masyarakatnya, dan sekaligus yang
dapat menerima, mengolah, menggunakan dan mewariskan kebudayaan. Karena itu
Colley (Roucek dan Warren, 1997:127) menyebut keluarga itu sebagai kelompok
inti, sebab ia adalah dasar dalam pembentukan kepribadian. Keluarga sebagai
masyarakat pendidikan pertama bersifat alamiah. Anak dipersiapkan oleh
lingkungan keluarganya untuk menjalani tingkatan-tingkatan perkembangannya
sebagai bekal untuk memasuki dunia orang dewasa.
Semua
orang tua mengharapkan anaknya kelak tumbuh menjadi manusia yang cerdas,
bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik, namun untuk mewujudkan harapan
itu, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Orang tua dituntut untuk jeli
mengamati perkembangan anak dan tentunya menerapkan pola asuh yang tepat.
M. Shochib (1988: 14) mengatakan bahwa pola pertemuan
antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai terdidik dengan maksud bahwa
orang tua mengarahkan anaknya sesuai dengan tujuannya, yaitu membantu anak
memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Orang tua dengan anaknya
sebagai pribadi dan sebagai pendidik, dapat menyingkap pola asuh orang tua
dalam mengembangkan disiplin diri anak yang tersirat dalam situasi dan kondisi
yang bersangkutan.
Dalam
Islam, seperti yang diungkapkan sahabat Ali Bin Abi Thalib (dalam Iin T.R,
2009), bahwa ketika memahami anak hal yang harus diperhatikan adalah keunikan
dari anak dan tahap usia anak. Anak usia dini dengan berbagai cirinya,
merupakan tahapan pertama menurut Islam, yaitu dalam tahap 0-7 tahun, dan
merupakan tahap BERMAIN
(la-ibuhum). Dalam tahap bermain ini, anak berada dalam proses beradaptasi
dengan lingkungan, dan tepat untuk pembentukan basic mindset nilai-nilai kehidupan. Pada anak diajarkan dan
ditanamkan mengenai kebenaran secara sederhana sehingga ketika metode bermain
diterapkan, maka anak memahaminya tanpa penghakiman. Tahap bermain menunjukkan
internalisasi nilai yang bersifat menyenangkan, menenangkan, dan menyamankan,
tidak menakutkan. Dalam Islam perintah sholat sudah mulai ditegaskan di usia 7
tahun, yaitu pada masa akhir tahap bermain anak. Anak usia 7 tahun ke atas, dikatakan
usia tamyiz, yaitu mampu membedakan
mana yang benar dan mana yang salah, sehingga anak sudah diajarkan untuk
menjalankan yang benar dan menjauhi yang salah, bukan proses trial and error yang tidak mendasar dan
tanpa arah.
Keunikan
dalam arti bahwa setiap anak dilahirkan dengan ciri dan sifat yang khas,
berbeda antara satu anak dengan anak lainnya, meskipun mereka bersaudara bahkan
kembar. Hal ini juga diungkapkan para ilmuwan psikologi perkembangan mengenai
prinsip individual different pada
perkembangan individu (Santrock, 2006).
Pola Asuh Orang Tua Power Assertion
Hoffman dalam Moh. Ali dan Moh Asrori (2004: 102) mengatakan
bahwa pola asuh penegasan kekuasaan adalah pola asuh yang diterapkan orang tua
dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi
oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat menerimanya.
Orang tua dengan penegasan kekuasaan berupaya menerapkan
seperangkat peraturan kepada anaknya secara ketat dan sepihak. Ia menuntut
ketaatan penuh kepada anaknya tanpa memberi kesempatan untuk berdialog. Ia
sangat dominan dalam mengawasi dan mengendalikan anaknya. Ia juga lebih senang
dalam menerapkan peraturan dari pada menggunakan pendekatan dialog dan
kehangatan hubungan (Daeng Ayub Natuna, 2006: 144).
Berbagai faktor dapat berperan dalam cara pendekatan orang
tua. Salah satu faktor adalah keyakinan tentang bagaimana mengasuh anak. Pada
masyarakat tradisional yang lebih mementingkan “kepatuhan” akan cenderung
menggunakan cara yang lebih otoriter, dikemukakan oleh Shehan dalam Budi
Andayani dan Koentjoro (2004:68). Orang tua akan menggunakan cara pendisiplinan
yang lebih keras dan melibatkan pemberian hukuman atau reinforcement negatif
di dalamnya, ditambahkan oleh Tricket, dkk, dalam Budi Andayani dan Koentjoro
(2004:68).
Farrington dalam M. Shochib (1988:5), dari hasil
penelitiannya menyatakan bahwa sikap orang tua yang kasar dan keras, perilaku
orang tua yang menyimpang, dinginnya hubungan antara anak dengan orang tua dan
antara ayah dengan ibu, orang tua yang bercerai, dan ekonomi lemah menjadi
pendorong utama anak untuk berperilaku agresif. Perilaku anak agresif pada umur
4 tahun sampai 10 tahun mempengaruhi perilaku agresif pada umur 17 tahun dan 18
tahun.
Terdapat hasil telaah dari pengaruh pola asuh power assertion, yaitu :
a.
Pengaruh
pada perilaku
Anak yang mengalami disiplin yang keras, biasanya akan
sangat patuh bila dihadapan orang–orang dewasa, namun sangat
agresif terhadap teman sebayanya. Anak tidak mampu mengendalikan
perilaku yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.
b.
Pengaruh
pada sikap
Anak memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang
berkuasa. Anak yang diperlakukan dengan cara otoriter merasa
mendapat perlakuan yang tidak adil. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai
akibat dari metode pendidikan anak cenderung menetap dan
bersifat umum.
c.
Pengaruh
pada kepribadian
Semakin banyak anak diberi hukuman fisik, semakin anak
menjadi keras kepala, dan negativistik.
Pola Asuh Orang Tua Love Withdrawal
Hoffman dalam Moh. Ali dan Moh Asrori (2004: 102) mengatakan
bahwa pola asuh penarikan kasih sayang adalah pola asuh yang diterapkan orang
tua dalam mendidik anaknya dengan cara menarik cinta kasihnya ketika anak tidak
menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya. Penarikan kasih sayang ini dapat
berupa ancaman akan ditinggalkan orangtua atau pengambilan hak anak, seperti
penarikan makanan kesukaan anak, larangan menonton televisi, atau tidak boleh
keluar rumah.
Penarikan kasih sayang ini juga berdampak negatif bagi anak.
Anak cenderung memiliki rasa takut dan lambat dalam beradaptasi terhadap
lingkungan baru, dan hal ini dipelajari dari orangtuanya. Anak tidak akan
memiliki kepercayaan diri dan tanggung jawab karena yang menjadi pegangan hidup
adalah orangtua.
Anak dengan pola asuh love
withdrawal, bisa mengalami sakit dan tertekan. Pengambilan hak anak oleh
orangtua bisa mengakibatkan anak merasa tidak berharga dan rendah diri.
Kreatifitas anak akan terhambat. Secara umum anak akan terluka secara
psikologis, dan dari sisi moral justru akan berkembang kepribadian yang negatif
seperti mudah depresi dan ringan menyakiti oranglain karena tumpulnya empati.
Pola Asuh Induction
Hoffman dalam Moh. Ali dan Moh Asrori (2004: 102) mengatakan bahwa pola asuh induction adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik
anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap
keputusan dan asuh yang diambil bagi anaknya.
Pola asuh induction
juga memiliki seperangkat standar dan peraturan yang jelas. Orangtua menuntut
anak-anaknya untuk memenuhi peraturan-peraturan tersebut melalui pemahaman
bukan dengan paksaan. Oangtua berupaya menyampaikan peraturan-peraturan
tersebut dengan disertai penjelasan yang dapat dimengerti. Anak juga diberi
kesempatan untuk berpikir dan berdialog untuk membicarakan alasan-alasan yang
ada dibalik perintah atau peraturan yang disampaikan oleh orang tua tersebut (Daeng
Ayub Natuna, 2006: 145).
Anak akan merasakan memiliki peran dalam peraturan atau
keputusan yang ditetapkan. Dalam hal kontrol terhadap anak, orang tua dengan
pola asuh induction juga
melakukannya, namun kontrolnya dilakukan dengan menerapkan peraturan-peraturan
yang hangat dan dialog yang terbuka.
Peraturan dan kontrol yang disampaikan orangtua dengan
penjelasan kepada anak, menurut Islamic
Parenting disesuaikan dengan tahap perkembangan anak yaitu usia dini pada
tahap bermain, sehingga lebih efektif ketika dilakukan dengan melakukan
permainan-permainan disertai penjelasan dengan bahasa yang sederhana sehingga
mudah dimengerti disertai dengan memahami keunikan setiap anak.
Pembentukan sifat santun, penuh kasih sayang, jujur, baik
dan rendah hati, cinta damai dan yang terpenting adalah cinta Tuhan dan alam,
sangat tepat jika ditanamkan melalui pola asuh induction dengan pola permainan yang tepat sesuai keunikan anak.
Pada anak juga bisa terbentuk kemandirian, disiplin, kepercayaan diri,
kretifitas, kerjasama dan kepemimpinan, dengan cara induction, yaitu menjalin komunikasi orangtua-anak dengan baik dan
menggunakan bahasa yang sederhana untuk anak usia dini, disertai penggunaan
metode bermain sehingga learning by doing
dapat mudah diaplikasikan. Anak akan merasa dihargai dan diperhatikan sehingga
anak usia dini yang berada pada masa pertumbuhan otak dan perkembangan
kognitif, dapat lebih mudah menyerap dan menginternalisasikan muatan materi
karakter yang diajarkan orangtua.
KESIMPULAN
Kesimpulan mengenai Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua
dan Pembentukan Karakter
Konsep pendidikan
anak sesuai dengan tahapan perkembangan dan program-program yang perlu dia
lakukan untuk memenuhi seluruh hak-hak anak sesuai dengan tahapan
perkembangannya, antara lain adalah :
(1)
Bahwa
setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda sehingga perlakuan atau metode
pendekatan yang dipakai untuk masing-masing anak dalam proses pembelajaran bisa
jadi berbeda.
(2)
Anak
akan mengalami perubahan dengan pendidikan yang diberikan. Perubahan yang
terjadi pada masing-masing anak tidak sama dan instan, tetapi bertahap. Maka
disinilah diperlukan kesabaran dan tidak boleh membanding-bandingkan kemampuan
anak.
(3)
Anak
usia dini merupakan masa emas, yang akan dengan cepat menyerap informasi. Diperlukan
memberikan pengajaran yang benar sejak dini tanpa anak merasa dibebani.
Kemudian memberikan rangsangan-rangsangan yang membuat anak berupaya
mengkaitkan antara informasi yang satu dengan yang lain. Sehingga dapat
merangsang kemampuan proses berfikirnya.
Pembentukan
karakter anak yang meliputi sifat santun,
penuh kasih sayang, jujur, baik dan rendah hati, cinta damai dan yang
terpenting adalah cinta Tuhan dan alam, sangat tepat jika ditanamkan melalui
pola asuh induction dengan pola
permainan yang tepat sesuai keunikan anak seperti yang diajarkan dalam Islamic Parenting. Pada anak juga bisa
terbentuk kemandirian, disiplin, kepercayaan diri, kretifitas, kerjasama dan
kepemimpinan, dengan cara induction,
yaitu menjalin komunikasi orangtua-anak dengan baik dan menggunakan bahasa yang
sederhana untuk anak usia dini.
Karakteristik
unik ini diajarkan oleh Islamic parenting
juga tentang anak usia dini yang termasuk masa bermain, sehingga pendekatan
bermain sangat disarankan pada orangtua. Pendekatan Induction dari Teori
Hoffman disertai memahami anak melalui Islamic
Parenting, sangat tepat untuk membentuk karakter-karakter baik pada anak.
Daftar
Pustaka
Amal,
B.K., (2005). Pendidikan Anak Usia Dini dalam http://www.waspada.co.id.
Andayani,
B. & Koentjoro, (2008). Social and
Psychological Management of Post Disaster Trauma, in Karnawati et al. 2008.
The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, Belmont, CA: Star Publishing, Co,
Inc., 2008
Aulia,
Afrida Nur (2009), Internalisasi
Nilai-nilai Islam bagi Anak Usia Dini di TK Islam Sunan Giri Mangliawan Malang,
Skripsi, UIN, Maulana Malik Ibrahim Malang.
Bornstein, R. F. (2002). Interpersonal
dependency and physical illness. Journal of Social and Clinical
Psychology, 14, 225–243.
Daeng Ayub Natuna, (2006), Belajar Teori Belajar dan Pembelajaran, Pekanbaru : Jurnal Universitas Riau, Hal:
121-122.
Desiningrum, D.R (2011), Pembentukan
Karakter dan Subjective Well Being
ditinjau dari Penanaman Nilai-nilai Islami dalam Pendidikan Anak dan Remaja,
dalam Proceeding Seminar Pendidikan
Karakter UNISSULA, Semarang, 18 Mei 2011.
Feiring, C, and Lewis, C., (1999).
Changing Characteristis of The U.S.Family. In M. Lewis. Plenum Press, New York
Garliah,
L dan Kartika S.N. (2005). Peran Pola
Asuh Orang Tua Dalam Motivasi Berprestasi. Jurnal. No. 1 :8-19, Medan: Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara.
Garliah, L., (2003). Pengaruh Pola
Asuh Orang Tua dan Pengalaman Moral dalam Kepemimpinan Transformasional Remaja
Pengurus OSIS SMUN di Medan. Tesis Program Pascasarjana UNPAD, Bandung.
Greenstein,
Theodore N., (2001). Method of Family
Research. Sage Publication, Inc.
Hartup, W.W. (2001). Social
Relationship and Their Developmental Significance. American Psychologist. February 1992. Vol. 44, No. 2, 120
– 126.
Hewstone,
Miles & Stroebe, Wolfgang, (2001). Introduction
to Social Psychology, a European Perspective. Oxford : Blackwell Publisher.
Iin Tri
Rahayu (2009) Pola Asuh Islami sebagai Awal Pendidikan Kecerdasan Emosional, http://psikologi.uin-malang.ac.id, diunduh 28 Desember
2010.
Koswara,
S. Maryani (2005). Studi Perbandingan Perilaku Anak dalam Intensitas Komunikasi
Orangtua-Anak pada Ibu Bekerja dan Ibu Rumah Tangga. Jurnal Universitas
Indonesia.
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, (2004), Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Moch. Shohib, (1988), Pola Asuh Orang Tua:
Dalam membantu anak mengembangkan disiplin diri, Jakarta: Rineka Cipta.
Nuraeni
(2006). Pola Asuh dan Kepribadian anak TK. Jurnal UNS. Semarang.
Olim,
Ayi (2010). Mencari Metode Pendidikan
Karakter untuk PAUD : Service Learning. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education;
Join Conference UPI & UPSI, Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
Papalia,
Diane E., Sally W. Old, & Ruth D. Feldman. (2008). Ninth Edition. Human Development. McGraw Hill
Companies.
Parke, R.D. dan V.O. Locke, (1999).
Child Physicology. The Mac. Graw. Hill Company, Inc, USA.
Ratna
Megawangi (2010), Jurnal “Pengembangan Program Pendidikan Karakter di Sekolah :
Pengalaman Sekolah Karakter”.
Roucek, J.S. dan R.L. Warren, (1997).
Pengantar Sosiologi. Jakarta: Bina Aksara.
Santrock,
John W. (2006), Tenth Edition. Life Span Development. 552-631. McGraw-Hill
Companies.
SAN, “Lima Poin Pendidikan Anak dalam Islam”, Smart Parenting, www.eramuslim.com, diunduh 28 Januari
2011.
Soetjiningsih
(1998). Tumbuh kembang anak. Dalam:
Gde Ranuh, EGC.
Syamsu
Yusuf LN (2003). Mental
Hygienne Kajian Psikologi dan Agama, Bandung: Jurusan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Pendidikan UPI.
Tanuwijaya, S. (2003). Konsep Umum
Tumbuh dan Kembang. Jakarta: EGC.
Tarmudji,
T. (2004). Penelitian Tentang “Hubungan
Pola Asuh Orangtua Dengan Agresivitas Remaja”. http://www.Dep.Dik.Nas/Go.Id.
[1]
Ratna
Megawangi, Ph.D, banyak berkecimpung dalam kegiatan pendidikan karakter melalui
penerapan model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, yang dikembangkan oleh
Indonesia Heritage Foundation (IHF) sejak tahun 2000, dan telah menerapkannya
di Sekolah Karakter dan sekolah PAUD Semai Benih Bangsa (SBB) di lebih dari
1600 lokasi SBB.