Rabu, 29 Februari 2012

Artikel dipublikasikan di Proceeding Psikologi UNDIP 2011 (2)


POLA ASUH ORANGTUA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
PADA ANAK USIA DINI

Dinie Ratri Desiningrum
Amalia Fauziah
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang


ABSTRACT

Character education is a long-term process that should begin early and be done gradually and continuously. The main period of development, one of whom is an early age (2-6 years), namely pre-school age or pre-group, then the formation of character should begin at an early age. The character’s forming is not solely the responsibility of the school, because education and childcare, first and foremost is derived from the family. Parent-child interaction related to parenting adopted parents, and one form of parenting is disciplining a child. Islam teaches Muslims to be responsible in educating children Islamically, then Islam has a method of raising and understanding of children.
This scientific work was used descriptive theoretical analysis method, by linking parenting Hoffman and character formation in early childhood, through the Islamic Parenting. The results of the analysis agreed outcomes of previous studies about three parenting of Hoffman Theory, there is induction parenting is the most appropriate in disciplining children because they do not violate the rights of children. This analysis also found that the induction of parenting would be more effective in shaping the character of the child, if notice of two Islamic principles in understanding the child. This theoretical analysis eventually discovered the importance of attention to some principles in applying for parenting children for character formation.
 

Keywords: Parenting, Character Formation, Early Childhood

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak 2400 tahun yang lalu Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi “good and smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Karenanya, sebuah sistem pendidikan dikatakan berhasil ketika dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah Negara kebangsaan yang terhormat.
Ternyata masih banyak masalah yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus yaitu masalah anak Indonesia yang sehat, cerdas, handal, dan berkualitas prima untuk dapat melanjutkan pembangunan bangsanya menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Di Indonesia, sebagai Negara berkembang yang masuk dalam persaingan global, dibutuhkan tenaga-tenaga kerja yang tidak hanya kompeten di bidangnya, melainkan dibutuhkan tenaga kerja yang unggul dalam softskill-nya. Untuk menciptakan manusia yang cinta damai, jujur, bertanggung jawab menjaga lingkungan dan kualitas akhlak lainnya, adalah dengan menciptakan manusia-manusia Indonesia yang batinnya hidup, yaitu mampu memilih mana yang baik dan benar, mampu mengontrol dorongan-dorongan nafsu ketamakan, berpikir kritis, kreatif, beretos kerja tinggi, dan selalu berinisiatif untuk melakukan kebaikan, dan berusaha untuk semakin lebih baik setiap harinya. Hal ini bukanlah sesuatu hal yang mudah namun muthlak diperlukan, karena fondasi penting bagi membangun bangsa salah satunya adalah mempersiapkan anak-anak Indonesia menjadi manusia-manusia yang berkarakter mulia (Ratna Megawangi, dkk, dalam Desiningrum, 2011).[1]
Megawangi (2004) mengatakan bahwa kata karakter berasal dari kata Yunani, charassein yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola. Sementara itu Wynne mengatakan bahwa terdapat dua pengertian tentang karakter. Pertama adalah menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Sebagai contoh apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus, maka orang tersebut memanifestasikan karakter jelek. Sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong maka orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ”personality”. Seseorang bisa dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter baik atau buruk sesuai dengan kepribadian yang ditampilkannya (Desiningrum, 2011)
Ada yang sangat mendasar dalam kehidupan karakter, yaitu bahwa manusia perlu menunjukkan jati diri secara otonom, dalam kaitan dengan orang lain dalam satu perspektif bangsa, yang semakin lama semakin besar bukan hanya kebesaran orang perorang akan tetapi bangsa itu secara keseluruhan. Kita yang hidup pada jaman ini bukan lagi harus melihat ke belakang akan tetapi melihat kenyataan saat ini dan ke depan, kekuatan bukan hanya terdapat dalam idealisme akan tetapi merupakan perpaduan antara harapan dengan kenyataan. Lebih jauhnya kegamangan dalam karakter, merupakan makanan empuk bukan hanya dari pemakan besar bak harimau akan tetapi kuman sekalipun akan siap menyantapnya bahkan yang tidak nyatapun seperti halnya faktor emosi dan rongrongan psikologis akan mampu meluluhlantahkan sendi-sendi yang sudah dimiliki saat ini (Olim, 2010).
Pendidikan karakter bukanlah pendidikan instan yang langsung jadi, namun membutuhkan tahapan-tahapan stimulasi yang perlu dilalui dan proses internalisasi yang akan menguatkan terbentuknya perilaku tertentu. Pendidikan karakter merupakan proses jangka panjang yang harus dimulai sejak usia dini dan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Menurut Soetjiningsih dalam buku tumbuh kembang anak (1998) “The Child is the father of the man“ sehingga keahlian atau penyimpangan sekecil apa pun jika terdeteksi dan ditangani dengan baik akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di kemudian hari. Anak yang mendapat stimulasi terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau  tidak mendapat stimulasi. Periode perkembangan utama, salah satu diantaranya adalah usia dini (2 – 6 tahun) yaitu usia pra sekolah atau prakelompok. Anak itu berusaha mengendalikan lingkungan dan mulai belajar menyesuaikan diri secara sosial.
Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan unik, yang mencakup koordinasi motorik halus dan kasar, daya pikir, daya cipta, sosioemosional, bahasa dan komunikasi dengan perkembangan yang harus seimbang sebagai dasar pembentukan pribadi yang utuh, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Aulia, 2009).
Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, herediter, konstitusi dengan faktor lingkungan baik lingkungan prenatal maupun postnatal. Faktor lingkungan ini akan memberikan segala macam kebutuhan yang merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan oleh anak untuk tumbuh kembang (Tanuwijaya, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang, salah satunya faktor lingkungan (faktor postnatal) yang mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir. Faktor lingkungan termasuk diantaranya yaitu kualitas interaksi anak dan orang tua. Dalam pembentukan karakter anak, pendidikan yang utama dan pertama adalah di rumah, maka pengasuhan dan pendidikan dari orangtua, menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan urgent.
Mendidik anak bermakna menyiapkan anak untuk sebuah masa yang lebih maju seoptimal mungkin. Abraham Maslow (Koswara, 2001:25) menyatakan bahwa perilaku anak sebenarnya terbentuk dan berkembang melalui proses komunikasi yang terdapat di dalam interaksi orangtua-anak. Interaksi orangtua-anak berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan orangtua. Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Salah satu bentuk pola asuh adalah mendisiplinkan anak. Orangtua menginginkan anaknya berperilaku sesuai harapannya dengan tujuan membentuk perilaku anak yang positif. Di dalam memenuhi harapannya tersebut, orangtua seringkali menggunakan suatu teknik pendisiplinan terhadap anak dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan umum orangtua dalam mendisiplinkan anak adalah mendidik agar anak berperilaku baik di rumah dan di luar rumah.
Anak‑anak berubah ketika mereka tumbuh dari bayi ke masa kanak‑kanak, pertengahan dan akhir masa kanak‑kanak, serta memasuki masa dewasa. Orangtua yang baik menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anak tersebut (Bornstein, 2002). Di dalam Islam juga terdapat tuntunan dalam memahami anak, yaitu dengan memperhatikan tahap usia anak dan keunikan masing-masing anak, termasuk dalam mendisiplinkan anak.
Hoffman (dalam Santrock, 2007) mengenalkan teknik disiplin orangtua. Orangtua dapat mendisiplinkan anak melalui penarikan kasih sayang, penegasan kekuasaan, atau induksi. Ditegaskan bahwa dengan penerapan disiplin pada anak sejak dini, akan menumbuhkan pribadi anak yang mandiri, belajar berperilaku dengan cara yang diterima masyarakat, dan sebagai hasilnya anak dapat diterima oleh anggota kelompok sosial mereka (Nuraeni, Skripsi, 2006).
Penerapan disiplin sejak anak usia dini akan sangat berguna dalam mengembangkan kontrol dirinya. Disiplin dimaksudkan untuk mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok.  Tujuan utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar masyarakat dan agama. Standar moral yang banyak didiskusikan dan diteliti oleh para ilmuwan Indonesia dewasa ini lebih dikenal dengan karakter, seperti yang sudah diungkapkan di atas. Penerapan disiplin melalui pola asuh orangtua untuk membentuk karakter anak usia dini merupakan permasalahan yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini.

Tujuan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini, adalah melakukan telaah teoritik deskriptif untuk melihat pembentukan karakter pada anak usia dini ditinjau dari pola asuh orangtua.

TINJAUAN PUSTAKA

Strategi dan Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
Model yang dikenalkan Ratna Megawangi, Ph.D, disebut “Pendidikan Holistik Berbasis Karakter” (Character-based Holistic Education). Manusia berkarakter adalah manusia yang berkembang seluruh dimensinya secara utuh (holistik), sehingga manusia tersebut bisa disebut holy (suci dan bijak). Akar kata holy, adalah whole (menyeluruh), sehingga arti holyman adalah manusia yang berkembang secara utuh dan seimbang seluruh dimensinya. Tujuan Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter adalah “Membangun manusia holistik/utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai kesadaran emosional dan spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole)” (Ratna Megawangi dalam Desiningrum, 2011)

Nilai-Nilai Karakter yang Ditanamkan Secara Eksplisit
Ada banyak kualitas karakter yang harus dikembangkan, namun untuk memudahkan pelaksanaan, IHF mengembangkan konsep pendidikan 9 pilar karakter yang merupakan nilai-nilai luhur universal (lintas agama, budaya dan suku). Diharapkan melalui internalisasi 9 pilar karakter ini, para siswa akan menjadi manusia yang cinta damai, tanggung jawab, jujur, dan serangkaian akhlak mulia lainnya. Ada pun nilai-nilai 9 pilar karakter terdiri dari (Ratna Megawangi dalam Desiningrum, 2011):
1.   Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya
2.   Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian
3.   Kejujuran
4.   Hormat dan Santun
5.   Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama
6.   Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah
7.   Keadilan dan Kepemimpinan
8.   Baik dan Rendah Hati
9.   Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan
Metode penanaman 9 pilar karakter tersebut dilakukan secara eksplisit dan sistematis, yaitu dengan knowing the good, reasoning the good, feeling the good, dan acting the good ternyata telah berhasil membangun karakter anak. Dengan knowing the good anak terbiasa berpikir hanya yang baik-baik saja. Reasoning the good juga perlu dilakukan supaya anak tahu mengapa dia harus berbuat baik. Misalnya kenapa anak harus jujur, apa akibatnya kalau anak jujur. Jadi, anak tidak hanya menghafal kebaikan tetapi juga tahu alasannya. Dengan feeling the good, kita membangun perasaan anak akan kebaikan. Anak-anak diharapkan mencintai kebaikan. Lalu, dalam acting the good, anak mempraktikkan kebaikan. Jika anak terbiasa melakukan knowing, reasoning, feeling, dan acting the good , semakin lama akan terbentuk karakter anak yang baik (Ratna Megawangi dalam Desiningrum, 2011).[2]

POLA ASUH ORANGTUA
Pengertian Pola Asuh Orang tua
Pengasuhan menurut Porwadarminta (dalam Amal, 2005) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud disini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat (dalam Amal, 2005) mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh adalah merupakan suatu bentuk (struktur), system dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak kecil. Sedangkan pola asuh menurut Soetjiningsih (2004) adalah suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya.
Dalam laporan Temu Ilmiah Sistem Kesejahteraan Anak Nasional, 1998 (dalam Garliah, 2003) pola asuh orang tua dirumuskan sebagai seperangkat sikap dan perilaku yang tertata, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya. Kohn (dalam Tarmudji, 2004) mengatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Ukuran keluarga mempunyai pengaruh terhadap pola asuh keluarga dan hasil-hasil yang dicapai oleh anak. Keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Penelitian telah menghubungkan perbedaan ini dengan perkembangan intelektual dan penampilan prestasi di sekolah (Feiring and Lewis, 1999).


Tipe Pola Asuh Orang tua

Tipe pola asuh menurut Hoffman (dalam Garliah, 2003) terdiri dari tiga tipe yaitu :
a. Induction (pola asuh bina kasih)
Adalah suatu teknik disiplin dimana orang tua memberi penjelasan atau alas an mengapa anak harus mengubah perilakunya. Pada tipe pola asuh seperti ini dijumpai perilaku orang tua yang directive dan supportive tinggi.


b. Power assertion (pola asuh penegasan kekuasaan)
Adalah perilaku orang tua tertentu yang menghasilkan tekanan-tekanan eksternal pada anak agar mereka berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku orang tua yang directive nya tinggi dan supportive rendah.

c. Love withdrawal (pola asuh penarikan kekuasaan)
Adalah pernyataan-pernyataan non fisik dari rasa dan sikap tidak setuju orang tua terhadap perilaku anak dengan implikasi tidak diberikannya lagi kasih sayang sampai anak merubah perilakunya. Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku orang tua yang directive dan supportive rendah.
Berdasarkan penelitian yang mendalam yang dilakukan oleh Hoffman (1989), Like (1993) dan Sarijannati (1999) [dalam Tarmudji, 2004], menunjukkan bahwa pola asuh bina kasih adalah yang paling efektif untuk membimbing perkembangan hubungan sosial anak.
Dalam disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran  peraturan itu, dan  hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik. Untuk anak yang masih dalam usia pra sekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dan pengertian dalam disiplin.  Seorang anak yang masih usia pra sekolah ini, diberi hukuman hanya kalau memang terbukti bahwa ia sebenarnya mengerti apa yang diharapkan dan terlebih bila ia memang sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia berperilaku sosial yang baik, ia diberikan hadiah, biasanya ini akan meningkatkan keinginannya untuk lebih banyak belajar berperilaku yang baik.
Weiten, dkk. (1994) dalam Syamsu Yusuf (2003:52) mengemukakan 5 prinsip “effective parenting” (pola asuh orang tua yang efektif), yaitu sebagai berikut:
1)    Menyusun atau membuat standar (aturan perilaku) yang tinggi, namun dapat dipahami. Dalam hal ini anak diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya.
2)    Menaruh perhatian terhadap perilaku anak yang baik dan memberikan ganjaran. Perlakuan ini perlu dilakukan  sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya, yaitu bahwa mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku menyimpang, namun membiarkannya ketika melakukan yang baik.
3)    Menjelaskan alasannya (tujuannya), ketika meminta anak untuk melakukan sesuatu.
4)    Mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain.
5)    Menegakkan aturan secara konsisten.

Memahami Anak dalam Islam
Ada dua hal yang perlu diamati pada anak (Iin T.R., 2009) :
(1) Amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan tersebut. Allah SWT menciptakan manusia unik, bahkan saudara kandung, dalam setiap DNA dan sidik jari, serta sifat-sifatnya.
(2) Pahami di tahap apa saat ini si anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya. Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan dengan tahapan-tahapan. Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima. Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita. Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia (Desiningrum, 2011):
1.   Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
2.   Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
3.   Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat.

PEMBAHASAN
Dilakukan telaah teoretik-deskriptif dengan mengaitkan pola asuh Hoffman dengan sembilan pilar karakter Ratna Megawangi, dengan mempertimbangkan Islamic Parenting dalam memahami anak.
Alur Pemikiran :
Islamic Parenting :
1. Menyadari keunikan
2. Sesuai tahap usia 0-7 thn

PEMBENTUKAN KARAKTER
1. Cinta Tuhan dan Alam
2. Tanggungjawab, Disiplin, Mandiri
3. Jujur
4. Hormat dan Santun
5. Kasih sayang, kepedulian, Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, Pantang Menyerah
7. Keadilan dan Kepemimpinan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan


Pola Asuh Hoffman :
1. Love Withdrawal
2. Power Assertion
3. Induction
 









Keluarga adalah insititusi yang paling penting dalam kehidupan seseorang, karena dari keluarga seseorang melangkah keluar dan kepada keluarga pula seseorang akan kembali. Di dalam keluarga seseorang hidup bersama dengan sekelompok orang secara akrab. Keluarga merupakan community primer yang paling penting, yang mencerminkan keakraban yang relatif kekal (Roucek dan Warren,1997:126). Keluarga sebagai sebuah lembaga atau masyarakat pendidikan yang pertama, senantiasa berusaha menyediakan kebutuhan biologik bagi anak dan serta merta merawat dan mendidiknya. Keluarga mengharapkan agar tindakannya itu dapat mendorong perkembangan anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang dapat hidup dalam masyarakatnya, dan sekaligus yang dapat menerima, mengolah, menggunakan dan mewariskan kebudayaan. Karena itu Colley (Roucek dan Warren, 1997:127) menyebut keluarga itu sebagai kelompok inti, sebab ia adalah dasar dalam pembentukan kepribadian. Keluarga sebagai masyarakat pendidikan pertama bersifat alamiah. Anak dipersiapkan oleh lingkungan keluarganya untuk menjalani tingkatan-tingkatan perkembangannya sebagai bekal untuk memasuki dunia orang dewasa.
Semua orang tua mengharapkan anaknya kelak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik, namun untuk mewujudkan harapan itu, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Orang tua dituntut untuk jeli mengamati perkembangan anak dan tentunya menerapkan pola asuh yang tepat.
M. Shochib (1988: 14) mengatakan bahwa pola pertemuan antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai terdidik dengan maksud bahwa orang tua mengarahkan anaknya sesuai dengan tujuannya, yaitu membantu anak memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Orang tua dengan anaknya sebagai pribadi dan sebagai pendidik, dapat menyingkap pola asuh orang tua dalam mengembangkan disiplin diri anak yang tersirat dalam situasi dan kondisi yang bersangkutan.
Dalam Islam, seperti yang diungkapkan sahabat Ali Bin Abi Thalib (dalam Iin T.R, 2009), bahwa ketika memahami anak hal yang harus diperhatikan adalah keunikan dari anak dan tahap usia anak. Anak usia dini dengan berbagai cirinya, merupakan tahapan pertama menurut Islam, yaitu dalam tahap 0-7 tahun, dan merupakan tahap BERMAIN (la-ibuhum). Dalam tahap bermain ini, anak berada dalam proses beradaptasi dengan lingkungan, dan tepat untuk pembentukan basic mindset  nilai-nilai kehidupan. Pada anak diajarkan dan ditanamkan mengenai kebenaran secara sederhana sehingga ketika metode bermain diterapkan, maka anak memahaminya tanpa penghakiman. Tahap bermain menunjukkan internalisasi nilai yang bersifat menyenangkan, menenangkan, dan menyamankan, tidak menakutkan. Dalam Islam perintah sholat sudah mulai ditegaskan di usia 7 tahun, yaitu pada masa akhir tahap bermain anak. Anak usia 7 tahun ke atas, dikatakan usia tamyiz, yaitu mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga anak sudah diajarkan untuk menjalankan yang benar dan menjauhi yang salah, bukan proses trial and error yang tidak mendasar dan tanpa arah.
Keunikan dalam arti bahwa setiap anak dilahirkan dengan ciri dan sifat yang khas, berbeda antara satu anak dengan anak lainnya, meskipun mereka bersaudara bahkan kembar. Hal ini juga diungkapkan para ilmuwan psikologi perkembangan mengenai prinsip individual different pada perkembangan individu (Santrock, 2006).

Pola Asuh Orang Tua Power Assertion
Hoffman dalam Moh. Ali dan Moh Asrori (2004: 102) mengatakan bahwa pola asuh penegasan kekuasaan adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat menerimanya.
Orang tua dengan penegasan kekuasaan berupaya menerapkan seperangkat peraturan kepada anaknya secara ketat dan sepihak. Ia menuntut ketaatan penuh kepada anaknya tanpa memberi kesempatan untuk berdialog. Ia sangat dominan dalam mengawasi dan mengendalikan anaknya. Ia juga lebih senang dalam menerapkan peraturan dari pada menggunakan pendekatan dialog dan kehangatan hubungan (Daeng Ayub Natuna, 2006: 144).
Berbagai faktor dapat berperan dalam cara pendekatan orang tua. Salah satu faktor adalah keyakinan tentang bagaimana mengasuh anak. Pada masyarakat tradisional  yang lebih mementingkan “kepatuhan” akan cenderung menggunakan cara yang lebih otoriter, dikemukakan oleh Shehan dalam Budi Andayani dan Koentjoro (2004:68). Orang tua akan menggunakan cara pendisiplinan yang lebih keras dan melibatkan pemberian hukuman atau reinforcement negatif di dalamnya, ditambahkan oleh Tricket, dkk, dalam Budi Andayani dan Koentjoro (2004:68).
Farrington dalam M. Shochib (1988:5), dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa sikap orang tua yang kasar dan keras, perilaku orang tua yang menyimpang, dinginnya hubungan antara anak dengan orang tua dan antara ayah dengan ibu, orang tua yang bercerai, dan ekonomi lemah menjadi pendorong utama anak untuk berperilaku agresif. Perilaku anak agresif pada umur 4 tahun sampai 10 tahun mempengaruhi perilaku agresif pada umur 17 tahun dan 18 tahun.
Terdapat hasil telaah dari pengaruh pola asuh power assertion, yaitu :
a.       Pengaruh pada perilaku
Anak yang mengalami  disiplin yang keras, biasanya akan  sangat patuh bila  dihadapan orang–orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman  sebayanya. Anak tidak mampu mengendalikan perilaku  yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.
b.       Pengaruh pada sikap
Anak memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa.  Anak yang  diperlakukan dengan cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari  metode pendidikan anak  cenderung menetap  dan bersifat umum.
c.        Pengaruh pada kepribadian
Semakin banyak anak diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras kepala, dan negativistik.

Pola Asuh Orang Tua Love Withdrawal
Hoffman dalam Moh. Ali dan Moh Asrori (2004: 102) mengatakan bahwa pola asuh penarikan kasih sayang adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan cara menarik cinta kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya. Penarikan kasih sayang ini dapat berupa ancaman akan ditinggalkan orangtua atau pengambilan hak anak, seperti penarikan makanan kesukaan anak, larangan menonton televisi, atau tidak boleh keluar rumah.
Penarikan kasih sayang ini juga berdampak negatif bagi anak. Anak cenderung memiliki rasa takut dan lambat dalam beradaptasi terhadap lingkungan baru, dan hal ini dipelajari dari orangtuanya. Anak tidak akan memiliki kepercayaan diri dan tanggung jawab karena yang menjadi pegangan hidup adalah orangtua.
Anak dengan pola asuh love withdrawal, bisa mengalami sakit dan tertekan. Pengambilan hak anak oleh orangtua bisa mengakibatkan anak merasa tidak berharga dan rendah diri. Kreatifitas anak akan terhambat. Secara umum anak akan terluka secara psikologis, dan dari sisi moral justru akan berkembang kepribadian yang negatif seperti mudah depresi dan ringan menyakiti oranglain karena tumpulnya empati.


Pola Asuh Induction
Hoffman dalam Moh. Ali dan Moh Asrori (2004: 102) mengatakan bahwa pola asuh induction adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan asuh yang diambil bagi anaknya.
Pola asuh induction juga memiliki seperangkat standar dan peraturan yang jelas. Orangtua menuntut anak-anaknya untuk memenuhi peraturan-peraturan tersebut melalui pemahaman bukan dengan paksaan. Oangtua berupaya menyampaikan peraturan-peraturan tersebut dengan disertai penjelasan yang dapat dimengerti. Anak juga diberi kesempatan untuk berpikir dan berdialog untuk membicarakan alasan-alasan yang ada dibalik perintah atau peraturan yang disampaikan oleh orang tua tersebut (Daeng Ayub Natuna, 2006: 145).
Anak akan merasakan memiliki peran dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan. Dalam hal kontrol terhadap anak, orang tua dengan pola asuh induction juga melakukannya, namun kontrolnya dilakukan dengan menerapkan peraturan-peraturan yang hangat dan dialog yang terbuka.
Peraturan dan kontrol yang disampaikan orangtua dengan penjelasan kepada anak, menurut Islamic Parenting disesuaikan dengan tahap perkembangan anak yaitu usia dini pada tahap bermain, sehingga lebih efektif ketika dilakukan dengan melakukan permainan-permainan disertai penjelasan dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti disertai dengan memahami keunikan setiap anak.
Pembentukan sifat santun, penuh kasih sayang, jujur, baik dan rendah hati, cinta damai dan yang terpenting adalah cinta Tuhan dan alam, sangat tepat jika ditanamkan melalui pola asuh induction dengan pola permainan yang tepat sesuai keunikan anak. Pada anak juga bisa terbentuk kemandirian, disiplin, kepercayaan diri, kretifitas, kerjasama dan kepemimpinan, dengan cara induction, yaitu menjalin komunikasi orangtua-anak dengan baik dan menggunakan bahasa yang sederhana untuk anak usia dini, disertai penggunaan metode bermain sehingga learning by doing dapat mudah diaplikasikan. Anak akan merasa dihargai dan diperhatikan sehingga anak usia dini yang berada pada masa pertumbuhan otak dan perkembangan kognitif, dapat lebih mudah menyerap dan menginternalisasikan muatan materi karakter yang diajarkan orangtua.
 


KESIMPULAN

Kesimpulan mengenai Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dan Pembentukan Karakter

Konsep pendidikan anak sesuai dengan tahapan perkembangan dan program-program yang perlu dia lakukan untuk memenuhi seluruh hak-hak anak sesuai dengan tahapan perkembangannya, antara lain adalah :
(1)   Bahwa setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda sehingga perlakuan atau metode pendekatan yang dipakai untuk masing-masing anak dalam proses pembelajaran bisa jadi berbeda.
(2)   Anak akan mengalami perubahan dengan pendidikan yang diberikan. Perubahan yang terjadi pada masing-masing anak tidak sama dan instan, tetapi bertahap. Maka disinilah diperlukan kesabaran dan tidak boleh membanding-bandingkan kemampuan anak.
(3)   Anak usia dini merupakan masa emas, yang akan dengan cepat menyerap informasi. Diperlukan memberikan pengajaran yang benar sejak dini tanpa anak merasa dibebani. Kemudian memberikan rangsangan-rangsangan yang membuat anak berupaya mengkaitkan antara informasi yang satu dengan yang lain. Sehingga dapat merangsang kemampuan proses berfikirnya.
Pembentukan karakter anak yang meliputi sifat santun, penuh kasih sayang, jujur, baik dan rendah hati, cinta damai dan yang terpenting adalah cinta Tuhan dan alam, sangat tepat jika ditanamkan melalui pola asuh induction dengan pola permainan yang tepat sesuai keunikan anak seperti yang diajarkan dalam Islamic Parenting. Pada anak juga bisa terbentuk kemandirian, disiplin, kepercayaan diri, kretifitas, kerjasama dan kepemimpinan, dengan cara induction, yaitu menjalin komunikasi orangtua-anak dengan baik dan menggunakan bahasa yang sederhana untuk anak usia dini.
Karakteristik unik ini diajarkan oleh Islamic parenting juga tentang anak usia dini yang termasuk masa bermain, sehingga pendekatan bermain sangat disarankan pada orangtua. Pendekatan Induction dari Teori Hoffman disertai memahami anak melalui Islamic Parenting, sangat tepat untuk membentuk karakter-karakter baik pada anak.


Daftar Pustaka
Amal, B.K., (2005). Pendidikan Anak Usia Dini dalam http://www.waspada.co.id.
Andayani, B. & Koentjoro, (2008). Social and Psychological Management of Post Disaster Trauma, in Karnawati et al. 2008. The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, Belmont, CA: Star Publishing, Co, Inc., 2008
Aulia, Afrida Nur (2009), Internalisasi Nilai-nilai Islam bagi Anak Usia Dini di TK Islam Sunan Giri Mangliawan Malang, Skripsi, UIN, Maulana Malik Ibrahim Malang.
Bornstein, R. F. (2002). Interpersonal dependency and physical illness. Journal of Social and Clinical Psychology, 14, 225–243.
Daeng Ayub Natuna, (2006), Belajar Teori Belajar dan Pembelajaran,  Pekanbaru : Jurnal Universitas Riau, Hal: 121-122. 
Desiningrum, D.R (2011), Pembentukan Karakter dan Subjective Well Being ditinjau dari Penanaman Nilai-nilai Islami dalam Pendidikan Anak dan Remaja, dalam Proceeding Seminar Pendidikan Karakter UNISSULA, Semarang, 18 Mei 2011.
Feiring, C, and Lewis, C., (1999). Changing Characteristis of The U.S.Family. In M. Lewis. Plenum Press, New York
Garliah, L dan Kartika S.N. (2005). Peran Pola Asuh Orang Tua Dalam Motivasi Berprestasi. Jurnal. No. 1 :8-19, Medan: Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
Garliah, L., (2003). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan Pengalaman Moral dalam Kepemimpinan Transformasional Remaja Pengurus OSIS SMUN di Medan. Tesis Program Pascasarjana UNPAD, Bandung.
Greenstein, Theodore N., (2001). Method of Family Research. Sage Publication, Inc.
Hartup, W.W. (2001). Social Relationship and Their Developmental Significance. American Psychologist. February 1992. Vol. 44, No. 2, 120 – 126.
Hewstone, Miles & Stroebe, Wolfgang, (2001). Introduction to Social Psychology, a European Perspective. Oxford : Blackwell Publisher.
Iin Tri Rahayu (2009) Pola Asuh Islami sebagai Awal Pendidikan Kecerdasan Emosional, http://psikologi.uin-malang.ac.id, diunduh 28 Desember 2010.
Koswara, S. Maryani (2005). Studi Perbandingan Perilaku Anak dalam Intensitas Komunikasi Orangtua-Anak pada Ibu Bekerja dan Ibu Rumah Tangga. Jurnal Universitas Indonesia.
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, (2004), Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Moch. Shohib, (1988), Pola Asuh Orang Tua: Dalam membantu anak mengembangkan disiplin diri, Jakarta: Rineka Cipta.
Nuraeni (2006). Pola Asuh dan Kepribadian anak TK. Jurnal UNS. Semarang.
Olim, Ayi (2010). Mencari Metode Pendidikan Karakter untuk PAUD : Service Learning. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
Papalia, Diane E., Sally W. Old, & Ruth D. Feldman. (2008). Ninth Edition. Human Development. McGraw Hill Companies.
Parke, R.D. dan V.O. Locke, (1999). Child Physicology. The Mac. Graw. Hill Company, Inc, USA.
Ratna Megawangi (2010), Jurnal “Pengembangan Program Pendidikan Karakter di Sekolah : Pengalaman Sekolah Karakter”.
Roucek, J.S. dan R.L. Warren, (1997). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Bina Aksara.
Santrock, John W. (2006), Tenth Edition. Life Span Development. 552-631. McGraw-Hill Companies.
SAN,  “Lima Poin Pendidikan Anak dalam Islam”, Smart Parenting,  www.eramuslim.com, diunduh 28 Januari 2011.
Soetjiningsih (1998). Tumbuh kembang anak. Dalam: Gde Ranuh, EGC.
Syamsu Yusuf LN (2003). Mental Hygienne Kajian Psikologi dan Agama, Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Pendidikan UPI.
Tanuwijaya, S. (2003). Konsep Umum Tumbuh dan Kembang. Jakarta: EGC.
Tarmudji, T. (2004). Penelitian Tentang “Hubungan Pola Asuh Orangtua Dengan Agresivitas Remaja”. http://www.Dep.Dik.Nas/Go.Id.



[1] Ratna Megawangi, Ph.D, banyak berkecimpung dalam kegiatan pendidikan karakter melalui penerapan model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, yang dikembangkan oleh Indonesia Heritage Foundation (IHF) sejak tahun 2000, dan telah menerapkannya di Sekolah Karakter dan sekolah PAUD Semai Benih Bangsa (SBB) di lebih dari 1600 lokasi SBB.
[2] Informasi IHF : www.ihf-sbb.org atau info@ihf.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar